SUNGKEM
Hi teman-teman. Kabar baik kan? Alhamdulillah... Sudah
makan? Sudah sholat jama’ah? Sudah ngaji? Nggak ada yang ngingetin ya?
Ciaaan... Sana, cari! Kwkwkwk. Sabar-sabar, masih ada alarm HP kok. Haha
Sudah-sudah. Jadi, Shaffa kali ini mau cerita tentang pondok
pesantren yang pernah saya tinggali selama 3 tahun pada masa SMA. Sebelumnya,
apa sih yang terlintas di pikiran kalian mendengar kata pesantren? Penjara
suci. Kyai. Bu Nyai. Santri. Ngaji. Kumuh. Antri. Jama’ah. Terus, lagi-lagi?
Kitab kuning. Roan. Takzir. Daaan masih banyak lagi. Namun, yang langsung
terlintas di benak saya adalah ; SUSAH PULAAANGG. Hahahaha. Resiko sih.
Dimana-mana kalau mondok emang harus nginep, ikut peraturan, ikut kegiatan,
nggak boleh absen. Ya jelas susah pulang. Udah tau begitu kenapa dulu saya
mondok ya? Padahal pikirannya pinginnya pulaaang melulu. Kwk
Pondok Pesantren Salafiyah Putra Putri Al-Huda. Nama
pesantren tempat saya nyantri kala itu. Diasuh oleh Abah Kyai H. Ahmad Shodaqoh
Zarkasyi. Kyai paling sepuh yang masih hidup kala itu. Katanya. Meskipun Abah
kemana-mana selalu diatas kursi roda, tapi beliau terlihat sehat, kuat,
semangat, dan sangat disiplin. Namun Allah sudah tidak sabar lagi memanggil
Abah, sehingga beliau meninggal pada tahun 2016 lalu setelah saya boyong.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Saya sangat bersyukur dulu
masih di kasih kesempatan untuk belajar langsung kepada beliau. Alhamdulillah.
Jujur, saya bingung mau cerita apa. Terlalu banyak yang
berkesan. Kalian yang pernah nyantri pasti paham. Hehe. Mungkin bisa diawali
dari hal yang mebuat hati saya selalu berdebar-debar, berdegup kencang, bikin
jantung kadang rasanya mau copot saking gugup, grogi atau mungkin takut. Bukan
jatuh cinta lo ini gaes. Haha. Tapi perasaan yang muncul tiap kali menghadap
Abah. Haha. Asal kalian tahu, Abah suaranya kenceng pol, kalau teriak bisa
seluruh ndalem, pondok putra, pondok putri dan tetangga dengar. Apalagi saya
dulu sempat diamanahi menjadi ketua pondok putri. Mau nggak mau jadi sering berurusan
dengan keluarga ndalem, apalagi Abah. Awalnya tertekan sekali, nggak sanggup,
mau mati rasanya. Tapi lama kelamaan saking terbiasa dimarahi, diteriaki, yaa
biasa aja. Jadi sering deh dijadiin tameng sama temen-temen lain kalau ngadepin
Abah. Padahal kan saya tetep aja gemeteran.
Nah, ada momen dimana mau nggak mau seluruh santri secara
personal harus berhadapan dengan Abah setiap tahun. Yaitu sungkeman setiap hari
raya Idul Fitri. Biasanya sih santri putri nggak bakalan berani kalau menghadap
beliau sendirian. Biar ada temennya deg-deg an. Haha. Waktu itu ketika saya
hendak sungkem, Abah sedang berbaring di kasur depan TV. Dengan menggunakan
mukena atasan saya dan beberapa teman mendekati abah dengan berjalan menggunakan
lutut. Anggap saja menunjukkan andhap asornya santri dengan gurunya. Setelah
dekat dengan tempat Abah tiduran, saya dan teman-teman suka saling
dorong-dorong, siapa yang mau duluan. Apalagi dengan respon Abah yang hanya
ngelihatain kami, diam saja dan tetap berbaring. Duuh, bikin tambah kaku
suasananya. Apalagi lihat ada sapu, penggaruk punggung, dan pecut di samping
Abah yang selalu dibawa kemana-mana. Paham banget kami kalau kadang itu semua
buat mukul.
“Assalamu’alaikum, Abah. Niki kulo kalih rencang-rencang
bade sowan dateng Abah.” Akhirnya saya beranikan diri untuk memecahkan
keheningan yang sudah cukup lama membuat suasana mencekam.
“Wa’alaikumsalam warohmatullahi wa barokaatuuuh.” Jawab
Abah. Namun beliau masih mematung. Tik tok tik tok. Semua krmbali diam.
“Bah...” Saya kembali memberi isyarat kepada Abah. Namun...
“Pawaeeed, eed, Pawaeed...” Teriak Abah dengan suara super
kencangnya memanggil salah satu khaddam laki-laki. Tak selang begitu lama,
khaddam itu datang memenuhi panggilan Abah.
“Wonten nopo, Bah?” tanyanya.
“Lungguhno aku.” Instruksi Abah. Lalu dengan sigap khaddam
tersebut membangunkan Abah dari posisi berbaringnya dan mengangkat beliau ke
kursi roda. “Kui, jupukno.” Sambil menunjuk semacam penggaruk punggung. Khaddam
tersebut pun langsung mengambilkannya untuk Abah dan pergi pamit. Saya dan
teman-teman dengan sabar dan setia duduk bersimpuh menunggu Abah dengan degup
jantung yang kian lama semakin tak bisa dikontrol. Duh, mati. Pake bawa pukulan
segala. Batinku. Setelah Abah terlihat siap, saya mencoba mengulurkan tangan
untuk sungkem sama Abah. Setelah tangan saya disambut, saya mencium tangan Abah
sambil mengucapkan kalimat yang sudah mati-matian saya hafal berjamaah sama
teman-teman sebelumnya.
“Bah, kulo Shaffa.” Ucapku
“Sopo?” Tanya Abah mengisyaratkan kalau saya bicaranya
kurang keras.
“Shaffa, Bah. Abah, kulo nyuwun pangapunten dumateng sedoyo
kalepatan kulo.” Seperti sudah saya ramalkan sebelumnya dan sebagaimana cerita
mbak-mbak pondok terdahulu. Abah pasti akan menjawab...
“Sebutno minimal limo luputmu nyang aku!” Kata Abah sambil
seidkit mengangkat penggaruk punggung yang sedari tadi di pegangnya. Siap-siap
kena pukul kalau nyebutinnya nggak sampe 5. Haha. Dengan memutar kembali
ingatan alasan apa saja yang mungkin bisa saya sebutkan dan terdengar aman saya
pun mencoba menjawab. “Siji?” Tanya Abah mengetahui saya diam cukup lama.
“Piket ndalem mboten resik, Bah.” Kwkwkwk. Ini mah jawaban
wajib semua santri. Haha. Tapi emang kalau males-malesan piket sering nggak sampai
bersih semua sih.
“Loro?”
“Tilem pas mbalah.” Ini juga jawaban paling membantu. Jadi,
mbalah itu adalah ngaji kitab subuh yang langsung diajar oleh Abah yang
diadakan di serambi masjid. Saya pun tidak memungkiri kalau sering ngantuk dan
ketiduran kalau ngaji subuh. Hihi. Jangan ditiru yak.
“Lha nyapo kok turu?” Tanya beliau. Duh, pakai ditanyain
segala. Biasanya kan cuma disuruh nyebutin dan nggak pakai alasan.
“Ngantuk, Bah” jawabku asal. Ya iya lah, Shaffa. Tidur pasti
gara-gara ngantuk.
“Telu?” Tanya abah lagi. Huftt, untunglah tidak
diperpanjang.
“Mboten piket.”
“Papat?”
“Mboten jama’ah.” Ini sih sebenarnya nggak ada kaitannya
sama Abah. Tapi biarlah. Udah nggak tau lagi mau jawab apa. Hahaha.
“Limo?”
“Emm, nganu, Bah.” Duuuh, kehabisan jawaban saya. Nge-blank.
Dengan posisi masih menunduk, menggenggam tangan Abah, saya sedikit melirik ke
arah tangan kiri beliau. Haduuh, posisi ‘pentungan’ sudah terangkat. Mati.
Makin dag dig dug nih jantung. Haha. “Mboten mbeto kitab pas mbalah.” Jawabku
asal. Sebenarnya bohong sih, saya selalu bawa kitab kok kalau mbalah waktu itu.
Kwkwkwk. Maafin Shaffa, Abaaaahh... hihi.
“Yoo.” Begitu jawab
Abah sambil tertawa. Alhamdulillaaah, Setelah itu gantian teman-teman yang
lain.
Dengan pertanyaan yang sama dan jawaban yang sudah
masing-masing santri persiapkan satu persatu sungkem. Banyak sekali jawaban
yang nggak masuk akal. Seperti, masbuk jam’ah, telat diniyah, bolos diniyah, mbangkong, nggak ngaji sorogan, dll.
Plis gais, itu nggak ada kaitannya sama Abah. Haha. Tapi yaudahlah, ketimbang
nggak bisa jawab. Kwkwk. Ada juga yang jawabannya jadi senjata makan tuan dan
sebenarnya sangat saya hindari. Seperti, “ngapusi Abah”. Pasti ntar ditanyain
“Ngapusi opo?”. Nah loh, malah tambah panjang itu kasusnya. Namun ada yang
gokil nih temen saya.
“Opo luputmu, Nduk?”
“Ngrasani Abah.” Jawabnya
“Piye lek ngrasani?” tanya Abah kepo. Kwkwkw. Lama sekali
teman saya ini tidak menjawab. Sambil melirik ke arah saya dan teman-teman lain
tampak sekali dia nggak bisa jawab. Kami pun juga nggak bisa bantu. “Nduk, piye
lek mu rasan-rasan?” Abah mengulangi pertanyaanya dengan nada tinggi yang cukup
mengagetkan kami. Apalagi yang lagi sungkem.
“Abah ganteng.” Secara spontan teman saya menjawabnya. Tawa
Abah pun langsung pecah, pun kami yang mendengar. Duuh, ngarangnya ada-ada saja
ini bocah! Kwkwkwk.
Alhamdulillaaaah, nggak ada yang kena ‘pentungan’ akhirnya.
Kwkwkwk. Sebenarnya kalau pun kena, Abah nggak pernah kok mukul santri putri
sampai kerasa sakit. Rasanya cuma kaya ditowel aja. Kadang juga emang guyonan
Abah. Tapi entah kenapa kharismanya beliau itu lo yang bikin hati berdesir.
Hihi. Lagian, sampai 3 tahun pun saya susah bedain ini Abah lagi bercanda apa
serius. Jadi yaa, cari aman saja.
Kenangan saya bersama teman-teman seangkatan Ponpes Putri yang sedang berpose dengan Abah, putri-putri, dan cucu-cucu beliau saat perpisahan.
Bagaimanapun beliau, kami tahu pasti Abah menyisipkan setiap
pelajaran dan hikmah dari setiap apa yang beliau lakukan pada santrinya. Karena
sebenarnya, guru yang memanfaatkan muridnya itu adalah demi kebermanfaatan
murid itu sendiri. Bagaimana agar kami para santri harus bisa menghormati orang
yang lebih tua, menjadi bermanfaat dan tawadhu’. Pun Abah telah mengajarkan
para santri untuk selalu disiplin, jujur, sabar, ikhlas dan istiqomah dalam
setiap perbuatan. Apa pun yang diperintah Abah saya yakin untuk media belajar
saya. Kalau pun saya pernah dibentak dan dipukul, itu memang salah saya kurang
maksimal menjalankan amanah. Beliau memang tegas pada siapa saja. Dan kami para
santri begitu sayang dengan beliau. Melihat senyum dan tawa beliau menjadi
kebahagiaan yang tak bisa dideskripsikan di hati kami, para santri. Selamat
jalan Abah. Kami bangga pernah jadi santri Abah Daqoh. Sungguh, kami rindu. Lahul faatihah.
Komentar
Posting Komentar